Selasa, 06 Maret 2012

CERITA KUCING

TIKUS LICIK DAN KUCING RAKUS

Sewaktu kecil, sebelum saya tidur, ibu mendongengkan sebuah kisah pengantar tidur. Entah dari mana ibu mendapatkan cerita-cerita itu. Ada kalanya ibu bercerita tentang kisah nyata seperti kisah para Nabi AS, para sahabat RA dan kisah-kisa orang soleh lainnya. Namun tak jarang pula ibu mendongengkan sebuah kisah fiktif yang terkadang lucu.
Malam itu, sambil mengeluskan tangannya di kening saya, ibu menceritakan kisah seekor kucing penjaga rumah dengan seekor tikus pencuri makanan yang cukup cerdik.
Sang kucing dipercaya oleh si majikan yang hendak bepergian untuk menjaga makanan dari tikus-tikus.
Kucing itu pun berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan mengemban amanah tuannya dengan sekuat tenaga. Dan ia pun berbangga diri karena tuannya memasrahkan keamanan makanan tersebut sepenuhnya kepadanya.
Ternyata, di saat yang sama, si tikus pencuri yang juga cerdik mengetahui hal itu. Tentunya, si tikus tak mau membuang-buang kesempatan yang ada di depan mata begitu saja. ia pun mengatur strategi untuk bisa melahap makanan yang ada  di atas meja.
Dengan penuh keberanian dan perhitungan yang matang, si tikus melancarkan aksinya. Di saat si kucing lengah itulah si tikus mencuri satu-persatu makanan yang ada di atas meja dan membawanya ke dalam lubangnya.
Apes bukan kepalang. Ternyata, di akhir-akhir aksinya, si tikus kepergok sang kucing. Dengan wajah penuh geram sang kucing mengerjar si tikus. Tak mau mati dimakan sang kucing, tikus itu berlari terbirit-birit menghindar dari terkamannya. Adegan kejar-kejaran pun tak terelakkan.
Sayang, lari si tikus tidaklah secepat lari sang kucing. Sehingga adegan kejar-kejaran itu pun berakhir dengan tertangkapnya si tikus.
Akan tetapi, walaupun tertangkap si tikus masih cukup cerdik untuk mengelabuhi si kucing. Si tikus pun mencoba bernegosisasi dengan sang kucing. Dan ia berkata kepada sang kucing. “Tolong lepaskan saya. Saya tidak akan mengulanginya lagi.” Sang kucing menjawab. “Apa jaminannya? Enak sekali kamu minta aku lepaskan.” Si tikus tak mau menyerah begitu saja. ia menjawab. “Bagaimana kalau saya beri bapak sebagian dari makanan itu. Kan  bapak juga belum pernah makan makanan itu.?”
Dasar kucing kelaparan. Dia tidak ingat lagi akan janjinya kepada majikannya. Ia pun terima tawaran si tikus. Ia lepaskan si tikus hanya karena si tikus memberinya satu ikan asin saja. padahal yang dicuri si tikus lebih dari itu. Dan setelah si tikus dilepaskan, ia tertawa terbahak-bahak merasa menang kepada si kucing. Sedang si kucing harus menerima omelan dan hukuman dari si majikan.
Ibu pun mengakhiri ceritanya dengan sebuah pelajaran dari kisah di atas. Yaitu, “Terkadang kerakusan akan harta bisa membuat lupa akan amanah. Uang memang tidak bernyawa tetapi dia bisa juga berkuasa.”
Zaman ini, saya merasakan kehadiran kisah sang kucing dengan si tikus. Namun bukan di sebuah cerita fiktif. Melainkan di dunia nyata. Dunia di mana masih banyak tikus-tikus pencuri dan professional juga cerdik pula. Dunia di mana tidak sedikit pula kucing-kucing yang loyalitasnya rendah dan juga rakus.
Sekitar dua bulan sebelum saya berangkat ke Cairo Mesir, tepatnya sekitar bulan Februari 2009, desa saya digemparkan dengan tertangkapnya salah seorang teman yang memiliki keahlian tangan dan profesi malam. Ya, dia adalah seorang yang tekun mempraktekkan ilmu mencurinya. Bahkan kepada tetangga sendiri.
Dia memang tikus pencuri. Akan tetapi, dia bukan tikus yang professional. Dia hanya pencuri ayam. Bukan pencuri uang negara.
Setelah hampir satu bulan di tahan dia dilepaskan dengan jaminan. Teman itu bercerita pengalaman pahitnya ketika berada ditahanan. Dia disiksa. Diintrogasi malam-malam.
Tapi bukanlah itu titik-beratnya. Yang menjadi poin penting adalah ungkapan si polisi –maaf dalam hal ini saya ibaratkan pak polisi itu seperti sang kucing yang gagah karena telah bisa menangkap tikus kecil— kepada teman saya si tikus.
Dengan senyuman ringan si polisi berkata “Kalau kamu nggak mau ini (sambil mengisyaratkan siksaan dengan kursi), kamu harus ngasih ini (sambil mengisyarat uang dengan tangan).”
Karena sudah merasa tidak kuat disiksa di dalam tahanan. Seperti ketika si tikus diterkam oleh si kucing, teman saya itu menghubingi keluarganya agar mau membayar tebusan. Dan akhirnya teman saya dibebaskan dengan membayar uang sebesar dua juta. Jumlah yang tergolong besar baginya.
Ada kisah nyata lainnya lagi. Kisah kegagahan sang kucing. Ketika itu, teman saya yang lain pergi berkendaraan ke kota. Dia sudah pakai helm pengaman standar, motornya pun sudah lengkap dan memenuhi standar. Sayangnya teman saya itu lupa bawa STNK.
Seakan seperti sebuah drama. Teman saya distop oleh penegak hukum lalu-lintas. “Selamat pagi! Bisa lihat surat-suratnya?” kata pak polisi itu.  Dengan sedikit gugup teman saya menjawab. “Pagi pak!” sambil menyodorkan SIM-nya. Pak polisi pun bertanya lagi. “STNK-nya mana?” Teman saya menjawab “Ketinggalan pak!” Mendengar itu, pak polisi tadi berkata “ya sudah kalo begitu! Kamu mau tilang apa damai! Kalau tilan ya lima belas ribu. Tapi kalau kamu pilih damai lima ribu sudah cukup.”
Mendengar pilihan seperti itu, yang namanya orang desa, tentunya memilih yang lebih murah. Toh walaupun uang itu masuk kantong pak polisi bukan kantong negara.
Akan tetapi itu hanyalah oknum saja. tidak semua polisi seperti itu. walaupun yang seperti itu sering dijumpai.
Dan mungkin yang lebih cocok untuk memarankan peran si tikus dan si kucing adalah mereka yang memiliki jabatan tinggi di negara ini.
Si tikus adalah mereka pejabat yang doyan mengkorupsi uang negara. Sedangkan si kucing adalah mereka si penegak hukum. Penegak hukum yang kelaparan. Yang haus uang. sehingga hukum bisa dijual-belikan. Merekalah sang mafia hukum. Dan akhirnya yang tertawa adalah si tikus pencuri. Karena uang yang ia pakai untuk membeli hukum bukanlah uangnya sendiri. Melainkan uang negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar